Pepih Nugraha |
Kamis, 15 September 2011 | 09:57 WIB
Contry Wordpress
Monumen Rawagede untuk mengenang korban pembantaian Peristiwa Rawagede tahun 1947 dan 1948.
TERKAIT:
JAKARTA, KOMPAS.com -
Pengadilan Sipil Den Haag, Belanda, mengabulkan tuntutan para korban
dan keluarga korban pembantaian Rawagede. Meskipun peristiwa telah
terjadi puluhan tahun lalu, tepatnya 9 Desember 1947 dan pemerintah
Belanda bersikukuh bahwa peristiwa itu telah kadaluarsa dan bukan
merupakan pembantaian, pengadilan tetap menyatakan pemerintah Belanda
harus membayar ganti rugi kepada sembilan korban peristiwa Rawagede.
Demikian A Baybar Roodee menulis pendapatnya hari ini di media sosial Kompasiana mengenai peristiwa Rawagede di Karawang, Jawa Barat, yang menginspirasi penyair Chairil Anwar menulis sajak "Karawang-Bekasi". Menurut Baybar, peristiwa merupakan pembelajaran berharga, bukan hanya untuk Belanda, terlebih untuk negara Indonesia sendiri.
Sebagai bangsa yang pernah menjajah, Belanda tak akan lepas dari bayang-bayang kekejian masa lalu berupa serangkaian pembantaian yang pernah terjadi baik itu yang dituduhkan sebagai “genosida” atau hanya dianggap sebagai ekses dari pertempuran dan operasi militer.
"Bagi negara ini (Indonesia), dimenangkannya tuntutan para korban Rawagede mestinya bukan sekedar dimaknai sebagai kemenangan yang berharga, tapi mesti ada pembelajaran dan percontohan, terutama dalam menangani kasus-kasus 'pembantaian' yang dilakukan atas nama negara dan oleh alat-aparat negara di negara ini," tulisnya.
Demikian A Baybar Roodee menulis pendapatnya hari ini di media sosial Kompasiana mengenai peristiwa Rawagede di Karawang, Jawa Barat, yang menginspirasi penyair Chairil Anwar menulis sajak "Karawang-Bekasi". Menurut Baybar, peristiwa merupakan pembelajaran berharga, bukan hanya untuk Belanda, terlebih untuk negara Indonesia sendiri.
Sebagai bangsa yang pernah menjajah, Belanda tak akan lepas dari bayang-bayang kekejian masa lalu berupa serangkaian pembantaian yang pernah terjadi baik itu yang dituduhkan sebagai “genosida” atau hanya dianggap sebagai ekses dari pertempuran dan operasi militer.
"Bagi negara ini (Indonesia), dimenangkannya tuntutan para korban Rawagede mestinya bukan sekedar dimaknai sebagai kemenangan yang berharga, tapi mesti ada pembelajaran dan percontohan, terutama dalam menangani kasus-kasus 'pembantaian' yang dilakukan atas nama negara dan oleh alat-aparat negara di negara ini," tulisnya.
Betapapun
bengisnya, ternyata negeri Belanda yang diwakili oleh pengadilannya
lebih fair dan jujur, mengakui segala kejahatan (perang dan militer)
yang pernah dilakukan oleh bangsanya. "Dengan mengakui kejahatan yang
pernah mereka (Belanda) lakukan, meminta maaf dan memberikan
kompensasi, memang tidak menghilangkan luka, tapi paling tidak ada
niatan baik untuk mengakui itu semua," tulis Baybar lagi.
Atas
putusan pengadilan sipil Den Haag yang memenangkan peristiwa Rawagede
ini, baybar dalam kupasannya mempertanyakan "itikad baik" atas sejumlah
kasus "pembantaian" yang pernah terjadi di negeri ini. Ia menyebut
antara lain “pembantaian" Kerabat Keraton Bulungan, Balibo-Timor Leste,
Talangsari Lampung, “Tanjung Priok, Operasi DOM Aceh, Teungku Bantaqiah
Aceh, dan pembantaian Papua. Baybar tidak menyebut "pembantaian"
G30S/PKI.
"Meminjam istilah 'menolak lupa',
maka seharusnya sebagai negara yang konon katanya bermartabat, negara
ini (Indonesia) juga jangan lupa bahwa mereka pernah membantai dan
melakukan kejahatan yang hampir sama. Apakah negara ini juga akan
pura-pura lupa sehingga tidak mengakui terjadinya sejumlah pembantaian?"
tulis Baybar.
Mungkinkah dengan
dimenangkannya kasus pembantaian Rawagede akan membawa konsekuensi hukum
digugatnya kembali sejumlah peristiwa "pembantaian" yang pernah
dilakukan oleh pemerintah RI dalam menumpas pemberontak? Untuk
mengetahui tulisan asli Baybar, penulis warga yang tinggal di Pontianak,
Kalimantan Barat, Anda dapat membacanya di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar