Minggu, 25 September 2011

Ayo Tebak Siapa Penguasa Pasar Notebook


REPUBLIKA.CO.ID, PADANG - Laporan IDC PC Tracker menyebutkan, hingga kuartal II tahun 2011 Acer Group Indonesia masih menguasai atau memimpin pasar di Indonesia dengan pangsa pasar sebesar 26,23 persen untuk PC dan 33,88 persen untuk notebook."Tingginya pertumbuhan 'market share' membuktikan penggunaan teknologi informasi semakin memasyarakat dan jumlah pengguna Acer semakin bertumbuh, sehingga Acer perlu memperluas jaringan purna jualnya," kata Direktur Customer Service Acer Group Indonesia Fredy Kurniawan di Padang, Kamis (22/9).
Menurut dia, untuk mengukuhkan kepemimpinan pada industri TI, Acer terus berinovasi mengembangkan banyak varian produk mobile guna menjawab permintaan pasar dan kebutuhan masyarakat seperti Acer Iconia dan Acer Smart Handled.
Ia mengatakan, didukung service centre yang memiliki standar prosedur operasional ISO 9001-2008 yang hampir merata di seluruh Indonesia, Acer juga menciptakan gelang anti statis, yakni sebuah alat untuk mengurangi potensi kerusakan yang mungkin tidak dimiliki perusahaan lain.
Notebook Acer juga dilengkapi dengan karpet antigores, katanya menambahkan. "Sejak tahun 1976 Acer Group berdiri secara konsisten menjalankan misinya menghilangkan penghalang antara manusia dan teknologi. Acer juga berfokus pada pemasaran merek produk PC-nya di seluruh dunia," ujarnya.
Ia mengungkapkan, Acer kini berada di peringkat kedua untuk penjualan PC dan juga kedua untuk notebook dengan pertumbuhan tercepat di antara lima PC vendor teratas. Menurut dia, Acer menjadi nomor satu untuk notebook vendor di Indonesia tahun 2005-2010 menurut data IDC Tracker dan Gartner, serta menjadi nomor satu untuk PC vendor tahun 2007-2010 menurut data IDC PC Tracker.
"Sejalan dengan strategi 'multibrand' yang diimplementasikan secara global, saat ini Acer Indonesia menaungi tiga merek PC di Indonesia yakni Acer, Gateway dan eMachines," katanya.

Kamis, 15 September 2011

Rawagede, Pembuka Jalan atas kasus "Pembantaian" di Indonesia?


Pepih Nugraha | Kamis, 15 September 2011 | 09:57 WIB
|
Share:
Contry Wordpress Monumen Rawagede untuk mengenang korban pembantaian Peristiwa Rawagede tahun 1947 dan 1948.
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Sipil Den Haag, Belanda, mengabulkan tuntutan para korban dan keluarga korban pembantaian Rawagede. Meskipun peristiwa telah terjadi puluhan tahun lalu, tepatnya 9 Desember 1947 dan pemerintah Belanda bersikukuh bahwa peristiwa itu telah kadaluarsa dan bukan merupakan pembantaian, pengadilan tetap menyatakan pemerintah Belanda harus membayar ganti rugi kepada sembilan korban peristiwa Rawagede.
Demikian A Baybar Roodee menulis pendapatnya hari ini di media sosial Kompasiana mengenai peristiwa Rawagede di Karawang, Jawa Barat, yang menginspirasi penyair  Chairil Anwar menulis sajak "Karawang-Bekasi".  Menurut Baybar, peristiwa merupakan pembelajaran berharga, bukan hanya untuk Belanda, terlebih untuk negara Indonesia sendiri.
Sebagai bangsa yang pernah menjajah, Belanda tak akan lepas dari bayang-bayang kekejian masa lalu berupa serangkaian pembantaian yang pernah terjadi baik itu yang dituduhkan sebagai “genosida” atau hanya dianggap sebagai ekses dari pertempuran dan operasi militer.
"Bagi negara ini (Indonesia), dimenangkannya tuntutan para korban Rawagede mestinya bukan sekedar dimaknai sebagai kemenangan yang berharga, tapi mesti ada pembelajaran dan percontohan, terutama dalam menangani kasus-kasus 'pembantaian' yang dilakukan atas nama negara dan oleh alat-aparat negara di negara ini," tulisnya.
Betapapun bengisnya, ternyata negeri Belanda yang diwakili oleh pengadilannya lebih fair dan jujur, mengakui segala kejahatan (perang dan militer) yang pernah dilakukan oleh bangsanya. "Dengan mengakui kejahatan yang pernah mereka (Belanda) lakukan, meminta maaf dan memberikan kompensasi, memang tidak menghilangkan luka, tapi paling tidak ada niatan baik untuk mengakui itu semua," tulis Baybar lagi.
Atas putusan pengadilan sipil Den Haag yang memenangkan peristiwa Rawagede ini, baybar dalam kupasannya mempertanyakan "itikad baik" atas sejumlah kasus "pembantaian" yang pernah terjadi di negeri ini. Ia menyebut antara lain “pembantaian" Kerabat Keraton Bulungan, Balibo-Timor Leste, Talangsari Lampung, “Tanjung Priok, Operasi DOM Aceh, Teungku Bantaqiah Aceh, dan pembantaian Papua. Baybar tidak menyebut "pembantaian" G30S/PKI.
"Meminjam istilah 'menolak lupa', maka seharusnya sebagai negara yang konon katanya bermartabat, negara ini (Indonesia) juga jangan lupa bahwa mereka pernah membantai dan melakukan kejahatan yang hampir sama. Apakah negara ini juga akan pura-pura lupa sehingga tidak mengakui terjadinya sejumlah pembantaian?" tulis Baybar. 
Mungkinkah dengan dimenangkannya kasus pembantaian Rawagede akan membawa konsekuensi hukum digugatnya kembali sejumlah peristiwa "pembantaian" yang pernah dilakukan oleh pemerintah RI dalam menumpas pemberontak? Untuk mengetahui tulisan asli Baybar, penulis warga yang tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat, Anda dapat membacanya di sini.