Senin, 07 November 2011

Bangsa Idiot yang Keranjingan Televisi




Oleh Jeffrey D. Sachs
Kini ledakan dari berbagai perangkat media baru bergabung dengan televisi. Perangkat-perangkat baru itu  adalah DVD, komputer, games, ponsel pintar, dan lainnya.
Banyak bukti kemudian menunjukkan bahwa persebaran media ini ternyata menimbulkan efek negatif yang luas.
Amerika Serikat memimpin dunia menuju era televisi. Implikasinya bisa dilihat langsung dari hubungan cinta mendalam rakyat Amerika kepada apa yang disebut Harlan Ellison sebagai "puting susu kaca" (televisi jaman dulu memang berbentuk kerucut terbalik seperti bentuk dada perempuan).
Pada 1950, kurang dari 8 persen rumah tangga Amerika memiliki TV, namun satu dekade kemudian angka kepemilikan TV telah mencapai 90 persen. Butuh beberapa dekade lebih untuk mencapai level penetrasi semacam itu, tetapi negara-negara miskin terap belum tersentuh sama sekali.
Rakyat Amerika rata-rata menonton televisi lebih dari lima jam per hari -- jumlah yang mengejutkan, mengingat beberapa jam lainnya pun dihabiskan di depan perangkat tontonan video lain.
Sejumlah negara malah mencatat angka rata-rata yang lebih sedikit dari itu. Contohnya di Skandinavia, yang waktu menonton televisi warganya hanya setengah dari rata-rata waktu yang dihabiskan warga AS.
Dampaknya terhadap masyarakat Amerika pun sangat dalam dan membahayakan, dan ini adalah peringatan kepada dunia, kendati sudah terlalu terlambat untuk disadari.
Pertama, terlalu banyak menonton TV malah menimbulkan rasa tidak senang. Banyak survey menunjukkan menonton televisi itu seperti candu, yang menguntungkan dalam jangka pendek namun menciptakan ketidaksenangan dan penyesalan dalam jangka panjang.
Para penonton seperti ini mengaku lebih memilih tidak terlalu sering menonton televisi.
Yang lebih gawat, menonton TV secara berlebihan bisa menciptakan fragmentasi sosial. Waktu yang dulunya dihabiskan bersama dalam masyarakat kini dihabiskan sendiri di depan layar TV.
Robert Putnam, pakar utama yang mempelajari penurunan rasa sosial warga Amerika, menyimpulkan bahwa menonton TV adalah penyebab utama yang menjelaskan penurunan "modal sosial", yaitu fondasi kepercayaan yang mengikat masyarakat satu sama lain.
Rakyat Amerika kini kurang bisa saling percaya satu sama lain. Tentu saja faktor lain juga menentukan, namun atomisasi sosial yang dipicu oleh televisi tidak boleh dikesampingkan.
Pastinya menonton TV juga buruk untuk kesehatan fisik dan mental seseorang. Rakyat Amerika menempati posisi tertinggi dalam jumlah penderita obesitas di dunia.  Duapertiga penduduk AS menderita kegemukan.
Lagi-lagi banyak faktor yang mempengaruhi itu, termasuk konsumsi makanan tidak sehat, namun waktu bersantai di depan TV juga menyumbang pengaruh penting.
Pada saat bersamaan, apa yang terjadi pada mental seseorang sama pentingnya dengan apa yang pada fisiknya. Televisi dan media sejenis telah menjadi pemasok dan pembawa propaganda politik dan korporat terhebat dalam masyarakat.
Kepemilikan televisi di Amerika hampir seluruhnya dikuasai swasta dan para pemilik menghasilkan uang lewat iklan tiada tara, tiada henti.
Kampanye iklan yang efektif dengan memasuki alam bawah sadar pemirsa -- biasaya berkaitan dengan makanan, seks, dan status -- menciptakan kegandrungan akan produk tertentu dan mendorong pembelian yang sesungguhnya tidak menjadi kebutuhan nyata masyarakat.
Hal sama terjadi pada politik. Politisi Amerika kini menjadi tak ubahnya merek dagang, mereka dikemas seperti sereal sarapan. Setiap orang -- atau ide apa pun-- dapat dijual dengan pita berwarna cerah dan "jingle" yang mudah diingat.
Semua jalan menuju kekuasaan di Amerika diperoleh melalui televisi dan semua akses ke TV tergantung pada uang yang besar.
Logika sederhana itu telah menempatkan politik Amerika di tangan pemilik uang. Hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya.
Bahkan perang bisa dipasarkan sebagai produk baru. Pemerintah Bush mempromosikan alasan memerangi Irak --senjata pemusnah massal Saddam Hussein yang tidak pernah ada itu-- dalam bentuk iklan yang mudah cerna, ritme yang cepat, dan bernuansa grafis yang hebat.
Perang itu sendiri dimulai dengan apa yang disebut pengeboman Baghdad untuk "mengejutkan dan menggentarkan" (shock and awe, yaitu doktrin militer mengenai serangan besar-besaran untuk mengejutkan konsentrasi lawan di kesempatan pertama) sengaja dibuat untuk pemirsa TV agar invasi pimpinan AS itu tetap mendapat dukungan penuh rakyat AS.
Banyak ilmuwan syaraf yakin bahwa efek kesehatan mental dari menonton TV bisa lebih dari sekadar kecanduan, konsumerisme, kehilangan kepercayaan sosial dan propaganda politik.
Mungkin televisi juga masuk ke jaringan otak pemirsanya dan merusak kemampuan kognitif mereka.
Akademi Pediatri Amerika baru baru ini memperingatkan bahwa menonton TV itu berbahaya bagi perkembangan otak anak. Akademi ini menyeru orangtua untuk menjauhkan anak-anak di bawah usia 2 tahun dari televisi dan sejenisnya.
Survey terbaru Common Sense Media menunjukkan sebuah paradoks di AS.  Bahwa anak-anak yang dibesarkan keluarga miskin Amerika saat ini tidak hanya menonton TV lebih banyak daripada anak-anak orang kaya, tetapi juga memiliki televisi di kamar mereka.
Manakala konsumsi akan sebuah komoditas jatuh meski pendapatan meningkat, maka terciptalah apa yang disebut para ekonom sebagai "keminderan" yang bagus.
Yang pasti, media massa bisa berguna sebagai penyedia informasi, pendidikan, hiburan, bahkan kesadaran berpolitik. Namun konsumsi yang berlebihan menghadapkan kita kepada berbagai bahaya yang harus kita hindari.
Pada akhirnya, kita bisa meminimaliskan bahaya itu. Berbagai pendekatan yang berhasil di seluruh dunia adalah termasuk membatasi iklan televisi, terutama bagi anak; mendirikan jaringan televisi non-komersial dan non swasta seperti BBC; serta waktu tayang televisi yang bebas (namun terbatas) dari kampanye politik.
Tentu, pertahanan terbaik adalah pengendalian diri kita sendiri. Kita bisa mematikan televisi lebih sering dan menghabiskan waktu dengan membaca, mengobrol dengan sesama kita, dan membangun landasan bagi kesehatan pribadi dan kepercayaan sosial. (*)
Disadur Panji Pratama dari tulisan Jeffrey D. Sachs "A Nation of Vidiots" dalam Reuters.com (28/10). Jeffrey Sachs adalah ekonom terkemuka AS dan Direktur Earth Institute pada Universitas Columbia.